Amu Darya dan Imam Al-Bukhari

Fakhruddin Halim
Bikang, Tobali,18-02-2022

PAGI tadi kiriman Bang Teguh Santosa sampai ke tangan saya. Buku berjudul, “di tepi amu darya” itu adalah kumpulan reportasenya selama berada di Uzbekistan, 19 tahun lalu.

Seperti ditulis Teguh dalam kata pengantar, kala itu ia bersama sejumlah wartawan asing berada di kota paling selatan Uzbekistan, Termez, persis di tepi Sungai Amu Darya.

Sungai Amu Darya memisahkan Uzbekistan dan Afghanistan yang mengalir dari pegunungan Pamir menuju Laut Aral sepanjang 2.400 kilometer.

Baca Juga  Markas Avengers di Timur Indonesia

Teguh dan wartawan lainnya mengadu keberuntungan menunggu-nunggu Jembatan Persahabatan yang menghubungkan Termez dengan Hairatan, kota paling utara Afghanistan, dibuka oleh pemerintah Uzbekistan.

Tetapi hingga Kabul jatuh ke tangan Aliansi Utara, Jembatan Persahabatan tak juga dibuka.

Persis seperti apa yang disampaikan wartawan senior Ilham Bintang, “Membaca reportasenya seakan kita ikut dalam perjalanan jurnalistik yang mendebarkan itu…”

Pada bagian #6 Teguh menulis dengan sangat lengkap soal Bung Karno, “Mencari Makam Imam Al Bukhari”.

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al Ju’fi al Bukhari alias Imam Al Bukhari perawi Hadist Nabi Muhammad SAW, yang mahsyur berasal dari Thaskent, Uzbekhistan.

Baca Juga  Menunggu Negara Hadir di Teluk Kelabat Dalam

Dikutip Majalah Tempo Sejarah Soekarno dengan Uzbekistan dimulai setelah Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Pemerintah Soviet mengundang Presiden Soekarno untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Moskow.

Saat itu, Soekarno sadar, sebagai Presiden Indonesia yang dianggap sebagai pemimpin negara-negara non-blok, harus bersikap netral terhadap Blok Timur maupun Blok Barat.

Tapi disisi lain, Soekarno juga menyadari bahwa Indonesia butuh dukungan Soviet untuk melegitimasi eksistensi negara-negara non-blok, dan kesepakatan yang telah dicapai dalam Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

Baca Juga  Kiping, Giddens dan Serangan Corona

Soekarno juga menyadari membutuhkan dukungan Soviet untuk menghadapi berbagai upaya negara-negara Barat yang masih terus berusaha menjajah dan menguasai kembali Indonesia. Sementara itu, Soekarno mafhum bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam, sehingga tidak mungkin Indonesia akan ikut Blok Timur yang dipimpin oleh negara komunis Soviet.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *