Oleh Natliswandi Piliang
PEKAN lalu saya menyimak melalui rekaman video beredar, PM Malaysia, Anwar ibrahim, pidato di markas besar PBB.
“Palestina mesti merdeka…”
“Myanmar, bagian ASEAN, demokrasi mesti berwujud …”
Ada teleprompter untuk membaca teks pidato di depannya, namun secara body language saya simak, konten teleprompter hanya guidence, bagi premis disampaikannya.
Kepada banyak kawan di ranah pejabat publik, parlemen, entah mereka suka atau tidak terhadap kicauan saya, acap saya himbau: Bila berpidato jangan pakai teks, tergantung teks bikin lebih 50% otak dan hati pindah ke kertas.
Bertutur bagus dan baik secara lisan memang wajib dimiliki mereka bermain ke ranah publik. Bukan itu saja untuk berbisnis pun demikian. Maka kursus-kursus public speaking tumbuh bak jamur di musim hujan.
Esensi dapat menjadi public speaking bagus, di kekinian, pondamennya agaknya dilupakan. Bagi saya yang belum tentu benar, sahih, silakan diuji, modal dasar berpidato bagus tergantung bobot bacaan buku melimpah. Ibarat CPU, otak dan hati banyak memori.
Di dalam teori komunikasi dasar ruh komunikasi publik itu; hati nurani, akal, budi.
Pondasi tadi ditambah basic buku bacaan, mengoptimalkan indera sebagai manusia; mulai melihat, mendengar dan mearasa, iqra lebih luas kepada “alam”, berdiskusi, berdialektika, proses menjadikan jalan seseorang public speaker bagus, orator unggul.
Biasanya, mereka berpidato berbobot, juga diikuti kemampuan menulis bagus, walau nalar ini tidak mesti.
Banyak penulis hebat, bukanlah orator bagus. Limited orang sejalan-seirama kemampuan menulisnya dan kepiawaian bertuturnya top. Dan Anwar, dugaan saya sosok seimbang kemampuan menulis dan berpidatonya.
Maka Jumat pekan lalu, saya pun menyimak penggalan Khotbah Jumat Anwar sebagai Khatib di Masjid New York. Momen pertama sejak 70 tahun terakhir seorang PM menjadi khatib Jumat-nya.