Bukan Peradaban Semen dan Besi

Oleh: Fakhruddin Halim
Wartawan cum Petani

BEBERAPA bulan terakhir, kalimat yang sering diulang ayah puluhan tahun lalu, persis sejak duduk di bangku sekolah dasar terus terngiang.

Respons beliau ketika saya enggan sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Maklum sebagai anak seorang guru sekolah dasar di kampung terpencil, sarapan yang dimaksud adalah beberapa potong ketela rebus, terkadang pisang rebus atau pisang goreng, dan sesekali nasi sisa semalam yang emak goreng dan tentu saja selalu tersedia telur itik rebus atau dadar.

Untuk anak seusia saya, kurang berselera dengan santapan begituan. Padahal banyak juga kawan sebaya, malah tak ada yang bisa dilahap. Apalagi jika musim pacekelik tiba.

“Makanlah, syukuri makanan yang ada. Kamu harus kuat. Kita tidak tahu nanti, bayangkan kalau nanti ketemu kijang atau rusa, bagaimana kamu mau mengejarnya kalau tak punya tenaga. Kalau pagi sarapan, berlari pun kuat, berkelahi pun kuat, tidak ketemu makanan sampai siang pun kuat,” ujar Ayah.

Baca Juga  Bangun SDM, Perhatikan Guru!

Maka sampai kini, terbiasa dengan sarapan, meski pun hanya sepotong ubi rebus atau pisang rebus.

Kami tinggal di kompleks perumahan yang menyatu dengan sekolah dasar yang Ayah pimpin. Rumah dinas itu berdinding papan, berlantai semen biasa. Jadwal Ayah, selepas jam sekolah, biasanya salat zuhur, lalu tidur barang dua puluh menit. Lalu, dilanjutkan dengan makan siang. Selepas itu bersiap ke kebun yang jarak tempuh ke kebun di punggung bukit itu sekitar satu sampai satu setengah jam dengan berjalan kaki.

Jika hari Minggu atau kalender merah, Ayah ke kebun berangkat sekitar pukul 0.7-an WIB. Selepas asar baru pulang.

Tanaman utama di kebun adalah kopi jenis robusta. Kebun itu pun bukan hanya satu bidang. Tapi kami punya tiga bidang. Selain itu, jika musim bersawah tiba, ini adalah garapan tambahan.

Baca Juga  M Jujur

Di luar jadwal tersebut, sesekali Ayah ikut bermain sepak bola dengan posisi sayap atau gelandang bertahan kanan belakang, atau bermain volly, tapi hanya sesekali kalau bukan jarang, meski pun beliau sangat hobi bermain sepak bola.

Sesekali hari Minggu masih ikut berburu babi hutan Klub “Macan Putih” yang beliau dirikan bersama sejumlah kawan. Klub ini didirikan sebagai upaya untuk memberantas hama babi hutan yang acap mengganggu tanaman terutama padi.

Kegiatan ini masih ditambah sesekali menjala ikan di sungai. Ada pula memelihara ayam, itik petelur dan kolam berisi ikan emas, mujair, sepat dan bermacam jenis.

Saya kebagian tugas mengurusi ayam, itik dan kolam ikan. Memberi makannya dari dedak sekam padi. Menggiring itik pulang kandang ketika petang kerap membuat saya kesal. Acap rombongam itik yang digiring dari persawahan di belakang kompleks itu mendekati kandang yang menempel di dinding dapur, tiba-tiba berbalik, berhamburan. Hari Minggu ikut ke kebun membantu menyiangi rerumputan atau panen kopi. Di samping dan belakang rumah dinas itu berjejer pohon pisang, tebu dan nanas.

Baca Juga  Kisah di Istana: Dari Celana Jeans, Uang Logam hingga Getuk

Suatu ketika saya bertanya setengah protes. Soal kesibukan Ayah. Tidak seperti ayah kawan-kawan sebaya lainnya. Mereka punya cukup waktu rutin bermain sepak bola atau volly. Kawan-kawan senang menonton ayahnya dan membanggakannya. Ingin juga rasanya seperti kawan-kawan itu.

Ayah punya jawaban yang hingga kini tertanam kuat dan mendarah daging dalam diri saya. Kalian harus sehat, harus makan bergizi, harus sekolah setingginya. Tapi sebagai Guru PNS gaji tak seberapa, plus jatah beras bulanan 10 kg perkepala untuk 5 anggota keluarga.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *