Oleh Hamid Basyaib
TIBA-tiba suatu sore Nirwan Arsuka muncul di kantor saya di Mampang, dengan sepeda motor yang warna dan modelnya kontan mengingatkan saya pada motor tukang pos yang tiap bulan mengantarkan wesel dari kampung. Dua lapis pakaiannya terbungkus jaket kulit hitam. Kerapatan sapu tangan penutup mulutnya memastikan ia mustahil ditembus debu Jakarta.
Tak jelas ia tinggal di mana, lebih tak jelas lagi pekerjaannya. Maka saya, di pertengahan 1990an itu, mengajaknya tinggal bersama di bedeng kontrakan seluas 5 x 7 m2 yang saya tempati sendirian di kawasan Jagakarsa.
Kami lalu mendirikan PT Paradigma Internasional, menjual ringkasan buku-buku manajemen dan kepemimpinan dari Soundview, Amerika, yang menyeleksi ketat buku-buku bergenre itu, yang terbit 1.500 judul per tahun.
Berkantor di lantai 11 gedung mentereng di Rasuna Said Kuningan, pemberian seorang kenalan yang baik hati, sebentar saja terbukti ia bukan direktur yang mahir mengelola bisnis; dan saya komisaris yang lebih buruk dari penjaga pintu kereta. Tak sampai setahun, ikhtisar Soundview yang bagus itu, dan diterjemahkan dengan baik pula, lenyap tak bersisa. Kami hanya bisa tertawa pahit dan diam-diam sama mengakui bahwa kami memang tak berbakat dagang.
Kami menempati pondok di sisi selatan di deretan tiga rumah itu. Ketika setahun kemudian rumah di ujung utara kosong, ia mengontraknya — dan baru keluar 15 tahun kemudian. Ia sedih karena tiba-tiba pemilik menyatakan ingin memakai rumah itu buat dirinya sendiri. Ia kesal karena baginya rumah dan kampung itu telah membuatnya nyaman. Suasana tenangnya ia nikmati nyaris 24 jam. Lokasinya mudah dicapai, dan yang terpenting: biaya kontraknya murah.
Para tetangga terdekat selalu heran. Hampir tiap minggu ada paket buku dari Amazon datang ke alamatnya. Ia seakan tak membutuhkan apapun di dunia ini selain buku, yang harganya rata-rata mahal. Ruang kerjanya di kamar depan penuh dengan rak buku yang doyong keberatan muatan. Ruang tamunya yang kecil disesaki rak-rak buku yang sama doyongnya. Ia tetap memilih menambah rak untuk buku-buku yang pasti datang nanti, daripada memasang meja-kursi.
***
Para tamunya tak kurang bahagia berbincang dengannya meski harus bersila di lantai bertikar seadanya. Beberapa tamu tak jarang datang dengan membawa aneka minuman mahal, yang harus ditampung di gelas dan cangkir yang warna-warnanya sesuai jumlahnya. Ia konsisten, rupanya. Anti keseragaman, apalagi penyeragaman. Tak boleh ada gelas-cangkir yang sama.
Tetangga makin heran karena dengan situasi seperti itu, tamunya ada yang datang dengan sedan Mercedes terbaru atau jip Lexus. Saya tak pernah bisa memberi jawaban yang memuaskan setiap tetangga bertanya apa pekerjaan warga pengontrak bedeng yang selalu membungkuk di depan layar komputer itu.
Kami, apalagi kalau seluruh peserta obrolan adalah geng lama Jogja, lebih sering memilih kongko di teras kecilnya. Sebab kondisinya lumayan: ada sofa rotan dengan kemiringan 30 derajat, yang jok busa tipisnya pasti dulu berwarna putih. Plus cahaya bohlam 5 watt.
Tiada yang peduli pada ironi besar bahwa dengan fasilitas semacam itu bahan obrolan adalah soal jatuh dan bangunnya peradaban-peradaban besar dunia, state of the art kesastraan Indonesia, alasan-alasan Seamus Heaney memenangkan Nobel Sastra tahun ini, film-film artistik-filosofis karya sineas Zhang Yimou dan Abbas Kiarostami, buku-buku yang memotret perkembangan mutakhir sains dan teknologi.
***
Ia mungkin tak selalu setia pada semua hal lain, tapi tidak pada buku. Di kampung halamannya di Dusun Leppe’e, Kabupaten Barru, atau di Makasar setelah ia di masa SD pindah ke sana, ia tersihir oleh serial-serial karya Kho Ping Ho yang tak pernah tamat. Ia memilih membeli atau menyewa buku daripada menggunakan uang jajannya untuk es cendol dan gorengan yang dijajakan di dekat sekolahannya.
Ia mencuri rokok pamannya dan menjualnya untuk membeli buku. Ketika uangnya habis, dan ia melihat buku yang digilainya di toko buku, ia mencurinya. Dan tertangkap. “Sejak itu saya bersumpah akan membalasnya,” katanya. “Saya harus membalasnya dengan cara menyediakan buku-buku kepada anak-anak tak mampu agar mereka bisa membaca buku,”
Dan sumpah itulah yang diwujudkannya, puluhan tahun kemudian, ketika ia rasa sudah bisa bergerak dengan lebih leluasa; meski ia tak pernah benar-benar lapang dalam soal pemilikan uang.
Ia yakin, jaringan teman-temannya, yang rata-rata menaruh minat besar pada perbukuan, juga para sukarelawan yang ia percaya akan datang sendiri untuk membantu ikhtiarnya, akan bisa membantunya menggerakkan organisasi langka yang tak ada orang yang berani memulainya: Kuda Pustaka, kemudian dibakukan menjadi Pustaka Bergerak.
“Jika anak-anak tak mampu itu kesulitan mendatangi pusat-pusat perbukuan di perkotaan,” katanya, “maka bukulah yang harus mendatangi mereka.”
Dan ia benar-benar menyodorkan buku-buku itu kepada anak-anak di tempat-tempat paling terpencil. Di lereng gunung di pedalaman Jawa Barat, di perkampungan nelayan di Sulawesi Selatan, di pedalaman Sumatera Utara. Anak-anak itu tak bisa lolos. Di mana pun mereka berada, buku-buku Nirwan akan mengejar mereka.