HUTAN bambu yang berada di Desa Radabata, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, itu merupakan demplot simulasi. Letaknya, tidak jauh dari Kampus Bambu Turetogo, Desa Ratogesa.
Demplot simulasi seluas satu hektar tersebut, hasil kerja sama Environmental Bamboo Foundation, Sao Bambu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], Australia Global Alumni, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Hutan bambu lestari ini milik komunitas adat Sao Neguwula, seluas 12 hektar. Demplot dibuat tahun 2022,” terang Dominikus Watu, tetua adat Sao Neguwula, saat bersua Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.
Dominikus mengakui, pihaknya tertarik dengan konsep Hutan Bambu Lestari [HBL] sehingga sejak 2012 lalu bermitra dengan Yayasan Bambu Lestari [YBL].
“Alasannya, meski setiap tahun dipanen, bambu jenis betung Dendrocalamus ini tetap lestari.”
Tidak semua orang boleh menebang bambu di lokasi, hanya petugas YBL dan komunitas adat. Tujuannya, untuk keperluan membangun rumah adat dan kegiatan penting lain.
“Semua bambu diberi kode sehingga bisa diketahui kapan waktu panen. Dulu, sebelum kerja sama dengan YBL, bambu muda kami tebang untuk dinding rumah sementara yang tua dijadikan atap,” tuturnya.
Hutan Bambu
Kepala Program YBL, Nurul Firmansyah mengatakan, bambu di Flores bertahan karena dijaga masyarakat.
Di daerah Ngada, atribut desa adat harus memiliki hutan bambu. Hutan ini menjadi batas antara wilayah adat dan sumber material rumah adat.
“Kearfian lokal dengan pengetahuan moderen seperti konsep HBL bisa dikombinasikan. Misal, rumah adat dari bambu menggunakan bambu yang diawetkan sehingga lebih tahan lama,” ucapnya.
Foresty Manager YBL, Annisa Nur Endah, menuturkan bambu betung dan lingkungannya harus djaga agar bisa dimanfaatkan generasi berikutnya.
“Termasuk semua satwa yang ada di dalam rumpun bambu, terjamin keselamatannya.”