Oleh: Subhan Ahmadi Abu Haitsam
Alumnus PP al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
‘Ngelola pesantren dengan sedikit santri, why not?’
Pas mudik sering ditanya saudara-saudara yang ngajar di pesantren besar dengan santri yang ribuan, gedung megah, fasilitas mewah, terkenal. Ya biasa aja ngobrol, cuma terkadang ngerasa inferior ketika dibanding-bandingke…. Saing-saingke…
Masyarakat secara umum tentu melihat baik dan buruk dari sisi luar, ya gedung mewah, guru-gurunya gaji tinggi, bahkan guru-guru senior difasilitasi mobil, dan beberapa kondisi wah lainnya.
Terkadang ada rasa minder. Meski kita punya argumentasi atas pilihan kita, tapi sayangnya argumentasi kita tidak mereka anggap. Bagi kita argumentasi sangat jitu tapi bagi mereka halah apaan, tidak ada artinya karena memang beda standar.
Tapi kemarin dapat renungan setelah sepupu curhat.
Saudara sepupu kemarin ngobrol. Beliau ngajar di pesantren sangat terkenal di daerah Jawa Barat (tidak boleh disebut namanya); gedung mentereng, besar, mahal, fasilitas super OK, dan mewah, dan gaji guru di sana jauh lebih tinggi, tenaga pengajar sangat mencukupi dan banyak para LC. Tapi ada ironi yang diceritakan, sampai beliau berkeinginan bikin pesantren sendiri.
#Pertama; adanya keresahan manajemen pesantren karena tidak terpenuhinya kuota pendaftar, dari biasanya menerima 7 kelas ful seleksi dan harus menolak sebagian dari pendaftar, sekarang hanya terpenuhi 5 kelas dengan tanpa ada pendaftar yang tereliminir alias semua diterima demi terpenuhinya kuota.
They said : “Wah ini sungguh meresahkan untuk pesantren dengan reputasi dan popularitas sebesar ini kok sampe kurang pendaftar. Waduuh..”
#Kedua, mulai terjadi kecurigaan terhadap pengelolaan keuangan yang tidak transparan, kok mereka yang menjabat, semisal kepala madrasah, atau ketua yayasan, yang notabene adalah keluarga pendiri pesantren, kok bebas aja menggunakan uang, yang bahkan sampai hitungan M tanpa ada rincian yang transparan. Laporan pun hanya bersifat global. Why..
#Ketiga, masalah sensitif yaitu tunjangan, atau mukafa’ah, atau insentif atau honorarium guru-guru dan karyawan yang merasa kurang untuk standar di daerah tersebut, (Jabar dan DIY tentu beda harga-harga kebutuhan), apalagi guru baru, sementara anak-anak para guru jika bersekolah di situ juga biaya tetap tinggi meski ada diskon tapi tak seberapa. Jadi banyak guru-guru yang nyekolahin anaknya di luar karena faktor biaya.
Sementara, ketua yayasan dan para pimpinan terlihat hidup gelamor, tiba-tiba sudah ada mobil baru 3. Pernah bahkan ngerayain ultah harus nyewa kafe yang mewah, dan mengundang teman-teman dari kalangan high class, juga ngundang teman-teman club mobil, bikin orang-prang di bawahnya pasti bisik-bisik.