Catatan Fakhruddin Halim
01-06-2021
DIA sorongkan kantong plastik berisi penuh lewat jendela kaca mobil yang terbuka. Mobil itu mengantarkan kami ke pelabuhan.
“Buat bekal di kapal,” ujarnya, tersenyum, melambaikan tangan, beberapa tahun lalu.
Baru beberapa meter mobil berjalan, kawan di sebelah membuka bungkusan itu.
Beberapa potong roti panggang mengeluarkan aroma khas dari kantong plastik yang dialasi kertas.
“Siapa dia?” tanya saya kepada kawan di sebelah. “Mas Burdadi. Dia penjual roti. Rotinya rasanya enak, makanya cukup laris,” katanya.
Saya mengangguk sembari menikmati roti itu dalam setiap gigitan. Beberapa potong masih tersisa ketika kapal fery itu mulai bergerak, saya pun menuntaskannya.
Ketika melewati kembali kota tua Muntok, saya memesan khusus roti panggang buatannya sebagai oleh-oleh.
***
Goenawan Mohamad wartawan senior, sastrawan itu menuliskan soal kisah kematian Napoleon Banoparte.
200 tahun yang lalu, 5 Mei 1821, Napoleon wafat di sebuah rumah terpencil, di sebuah pulau terpencil. Tanpa heboh, tanpa dentuman, meskipun penyair Prancis Chateubriand kemudian menggambarkan kematian itu dalam kalimat yang dramatis:
“Pada tanggal 5 itu, pada pukul 6 senja kurang 11 menit, di tengah angin, hujan dan debur ombak, Bonaparte mengembalikan kepada Tuhan embusan nafas kehidupan paling perkasa yang pernah menghidupkan lempung manusia”.
Pedangnya tergeletak di kiri tubuhnya, dan sebuah salib terletak di atas dadanya. Kata-kata terakhirnya yang terdengar, “ tête… armée,” atau “tête d’armée.”