Oleh: Fakruddin Halim
(Sekretaris PWI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)
PROVINSI Kepulauan Bangka Belitung memiliki hutan bakau (Mangrove) seluas 273.692,81 hektar. Dari luas tersebut, berdasarkan sejumlah data sebanyak sekitar 80.000 hektare rusak.
Kerusakan ini diakibatkan oleh berbagai faktor seperti penambangan timah, pemukiman, alih fungsi lahan dan akibat lainnya.
Namun kerusakan secara masif dalam kurun waktu 20-an tahun terakhir lebih banyak diakibatkan oleh pertambangan dan alih fungsi lahan.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menempati nomor dua tingkat kerusakan mangrove terparah se Sumatera, setelah Provinsi Riau.
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Perpres Nomor 220 Tahun 2020 yang menjadikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bersama delapan provinsi lainnya untuk melaksanakan rehabilitasi mangrove.
Kedelapan provinsi itu adalah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Papua dan Papua Barat.
Kerusakan mangrove Babel ini secara masif dalam kurun waktu 20-an tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit.
Telah banyak penelitian yang menyebutkan 1 hektar mangrove dapat menyerap 39,75 juta ton CO2 pertahun. emisi setara 59 sepeda motor per tahun atau 1,6 juta batang rokok setiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Indonesia memiliki hutan hujan tropis ke-3 terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.
Sedangkan luas area hutan mangrove di Indonesia saat ini mencapai 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon. Indonesia juga memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton.
Dari data tersebut maka total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton. Jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga USD 5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai USD565,9 miliar atau setara dengan Rp8.000 triliun.
Potensi yang Hilang
Bagaimana dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?
Secara sederhana saja, kalau satu hektar mangrove dengan jumlah sekitar 3.500 batang dapat menghasilkan 200 ton oksigen pertahun, jika kompensasi atau harga dalam perdagangan karbon 1 ton sebesar 5 dollar AS.
Maka 1 hektare mangrove = 200 ton x 5 dollar AS = 1.000 dollar AS per tahun. Nilai potensi karbon perhektar 1.000 dolar kalikan dengan kurs Rp14.000 saja = potensi Rp14.00.000/tahun.
Dalam perdagangan carbon, maka potensi mangrove Babel setiap tahunnya bisa menghasilkan sekitar Rp14.000.000/hektare.
Artinya berdasarkan data yang ada sekitar 80.000 hektar mangrove Babel yang rusak, kalikan potensi perdagangan carbon Rp14.000.000/ha/th = Rp1.120.000.000.000/tahun. Ini angka yang cukup besar.
Padahal, usia mangrove salah satu yang tertua di dunia berkisar 750 tahun. Bahkan saat ini masih proses verifikasi dan penelitian diperkirakan mangrove yang ada di Belitung berusia sekitar 800 tahun lebih.
Jadi berapa kita kehilangan potensi pemasukan dari mangrove yang rusak atau musnah itu kalau usia mangrove bisa mencapai 100 tahun atau bahkan 800 tahun? Kalikan saja.
Dalam 20-an tahun terakhir 80.000 mangrove dirusak maka Babel sudah rugi dua puluh triliunan rupiah lebih.
Siapa yang bisa mengembalikannya seperti keadaan semula? Adakah pihak yang bertanggung jawab atas kerugian?
Bukan saja rakyat Bangka Belitung, tapi Indonesia bahkan dunia ikut rugi.
Padahal butuh energi dan dana yang tidak sedikit untuk merehabilitasi 80.000 hektar mangrove Babel.
Kalau satu hektar butuh biaya rehabilitasi Rp100.000.000,- maka kalikan 80.000 hektar, paling tidak dibutuhkan dana sebesar Rp8 triliun. Itu pun tidak ada jaminan seratus persen berhasil.
Apakah sebanding dengan katakanlah nilai uang didapat dari merusak mangrove? Jawabnya, tentu saja tidak.
Maka, menjaga mangrove yang masih tegak berdiri wajib dilakukan. Tidak ada tawar menawar. Tidak ada kompromi.
Adalah naif rasanya kita berteriak mencintai Indonesia, tapi mangrovenya kita rusak, kita hancurkan demi kepentingan sesaat.
Bukankah manusia diberikan akal bagaimana mengembangkan kreativitas alternatif ekonomi? Bukankah ada banyak sarjana, ilmuan, cerdik pandai di Bumi Serumpun Sebalai yang bisa diajak bersama-sama.