Catatan Fakhruddin Halim
Sabtu, 06 08 2022
Hanphone saya berdering. Suara di seberang saya kenal baik, Mohammad Fathurakhman dipanggil Boy. Dia menanyakan saya sedang berada dimana dan meminta datang. Saya pun tiba menjelang tengah hari, Senin 1 Agustus 2022.
Di Temu Kafe persis sebelah kiri pintu masuk halaman, di pojok berdiri bangunan berdinding semacam seng dicat rapi sedemikian rupa dengan pilihan warna menarik.
Memang hari ini ia membuka pilihan menu baru di Temu Kafe. Kuliner khas Bangka “Lempah Kuning”. Kuliner ini dibranding dengan nama “Dilempah OMB” tertulis mencolok di bagian depan bagunan seng ala kekinian itu.
Boy sendiri yang menyambut sejumlah tamu yang berdatangan sekaligus mempersilakan langsung mencicipi lempah kuning yang sudah dihidangkan. “Hari ini gratis,” katanya ramah. Jadi semacam launching.
Temu Kafe dirintis Boy sekitar dua tahunan terakhir. Kafe ini cukup ramai pengunjung.
Saya pun dan beberapa kawan tak menyia-nyiakan kesempatan. Rasanya memang sangat enak. Perpaduan sejumlah bumbunya terasa pas di lidah.
Porsinya pun tidak begitu “menakutkan”, potongan ikan hoile yang disajikan cukup. Sebab, saya punya pengalaman beberapa kali menyantap lempah kuning, porsinya cukup “menakutkan”, apalagi harganya. Maklum, potongan ikan yang disajikan cukup besar.
Pernah beberapa kali saya mendampingi kawan dari luar Pulau Bangka, terkaget-kaget melihat porsi ikan lempah kuning ataupun ikan panggang yang disajikan.
Porsi yang disajikan siang itu seharga Rp25.000. Lengkap dengan sayuran dan sambal terasi. Seorang kawan rupanya merasa kurang dengan porsi tersebut. Ia memang tidak meminta tambahan potongan ikan, tapi hanya minta tambahan kuahnya saja.
Lalu, apa yang membedakan barangkali dengan lempah kuning lainnya?
Selain soal rasa, OMB berhasil membranding lempah kuning tampil kekinian atau dengan citra milenial.
OMB ada di area Temu Kafe yang sebagian besar pengunjungnya kaum milenial atau mereka yang “berjiwa” milenial.
Selain itu, Temu Kafe mengedepankan konsep alam terbuka. Maka tata letak meja dan kursi pun tidak kaku. Sejumlah pohon rindang menjadi semacam peneduhnya. Ada live musik yang menampilkan band yang digawangi anak-anak muda berbakat.
Tak hanya itu, Temu Kafe juga menyiapkan sejumlah meja billiard bagi pengunjung yang ingin mencobanya.
Kesan santai, egaliter tak bisa dihindari. Apalagi pelayanan yang ramah dan menu yang ditawarkan juga punya banyak varian.
Saya beberapa kali berhasil mencoba sejumlah menu, tentu saja gratis. Rasanya sangat enak. Contohnya nasi goreng dengan varian rasa, kopi, minuman dingin, jamur goreng krispi dan menu lainnya. Semuanya sangat enak.
Nah, OMB ada dengan suasana ini. Saya tanya sama Boy. Apa arti OMB? “OM Boy,” katanya singkat.
Dilempah OMB adalah hasil kolaborasi antara Boy dengan sang koki Fadil. Pemuda 25 tahun, berambut grondrong ini punya bakat memasak. Keduanya sepakat memulai usaha lempah kuning dengan konsep bagi hasil.
Fadil sejatinya selama ini bergelut di dunia entertain. Dia multi talenta. Di Pangkalpinang bersama sejumlah kawannya membentuk semacam grup lawak. Kabarnya dia juga pernah berguru soal musik kepada musisi jazz terkenal Idang Rasyidi yang kini sudah almarhum.
Fadil punya alasan tersendiri mengapa akhirnya lempah kuning menjadi jalan baru “karirnya” di dunia kuliner.
“Lempah kuning merupakan jati diri kita sebagai orang Bangka, sehari dak ngirop lempah kuning , kepale pacak pening. Karena bumbu yang terkandung di dalamnya bisa menyehatkan,” ujarnya.
Dia bertekad untuk mebawa lempah kuning dengan konsep milenial. Tentu saja dwngan harga terjangkap satu porsi komplit berkisar Rp25 ribu – Rp40 ribu.
Fadil ingin agar lempah kuning bisa mendunia. “Jangan sampai makanan khas kita tidak dikenal di Indonesia dan jangan mau kalah sama kuliner daerah lain,” katanya.