Oleh Hasril Chaniago
(Wartawan Senior)
Tak banyak orang tahu bahwa Mohammad Natsir, Ketua Umum Partai Masyumi dan pernah menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia, adalah seorang wartawan yang pernah menjabat Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ia juga menerbitkan dan memimpin surat kabar Abadi dan majalah Hikmah tahun 1950-an. Di hari tuanya, Natsir menerbitkan dan mengasuh majalah Media Dakwah yang menjadi penyalur pikiran-pikiran dan pendangannya terhadap berbagai persoalan bangsa dan umat.
Negarawan yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ini sangat dekat dengan kalangan wartawan karena pernah pula menjabat Menteri Penerangan. Ia adalah tokoh besar dunia Islam yang sangat dihormati secara internasional. Berita kematiannya, disebut oleh bekas Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda sebagai “lebih dahsyad daripada jatuhnya bom atom di Hiroshima”.
Mohammad Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatara Barat 17, Juli 1908, dari kedua orangtua yang berasal dari Maninjau, Kabupaten Agam. Sepanjang hayat Natsir diisi dengan tiga aktivitas: berorganisasi, menulis, dan berdakwah. Natsir juga seorang ninik mamak dalam kaumnya dengan gelar adat Datuk Sinaro Panjang.
Usia delapan tahun Nasir mulai belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Adabiah Padang, kemudian dipindahkan orang tuanya ke HIS pemerintah di Solok. Pada tahun 1923 Natsir meneruskan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat SMP sekarang) di Padang. Di sini Natsir menjadi anggota JIB (Jong Islamieten Bond) dan mulai bersentuhan langsung dengan gerakan perjuangan. Tamat dari MULO, pada tahun 1927, Natsir merantau ke Bandung untuk melanjutkan pendidikannya ke AMS (setingkat SMA). Ia mengambil jurusan Klasik Barat yang mengutamakan pelajaran bahasa Belanda, Inggris, dan bahasa Latin.
Selama di AMS ia juga sangat tertarik pada ilmu agama. Waktu luangnnya digunakan untuk belajar agama di Persatuan Islam (Persis) dengan bimbingan pendiri dan pemimpinnya Ustadz A. Hassan, seorang keturunan Arab kelahiran Singapura. Selain menjadi aktivis Persis, pada tahun 1932 Natsir mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) sebagai perguruanIslam dengan sentuhan moderen. Sebagai cendekiawan muda Islam dan tokoh pergerakan, Natsir aktif menyebarluaskan gagasannya melalui tulisan. Sejak tahun 1930-an ia banyak menulis di majalah Pembela Islam dan Pedoman Masjarakat dengan nama samaran A. Moechlis. Ia menulis tentang Islam yang berkemajuan dan hubungan Islam dan negara.
Selama tahun 1938 hingga menjelang masa pendudukan Jepang, Natsir pernah terlibat polemik dengan Soekarno. Mereka berdebat mengenai posisi Islam dalam negara. Soekarno yang diasingkan di Ende, Flores, dan sedang keranjingan mempelajari Islam, kerap menulis di majalah Pandji Islam yang terbit di Medan. Di antaranya Soekarno menulis tentang “Memudakan Pengertian Islam”, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dan Negara” serta “Masjarakat Onta dan Masjarakat Kapal Udara”. Pada intinya tulisan Soekarno banyak menyerang kebekuan pemikiran Islam dan menganggap umat Islam di Indonesia terjebak dalam kekolotan.
Natsir membuat artikel balasan di Pandji Islam dan Al-Manaar, dengan seri artikel yang berjudul: “Tjinta Agama dan Tjinta Tanah Air”, “Ichwanu’shafaa”, “Rasionalisme dalam Islam”, “Islam dan Akal Merdeka”, dan “Parsatuan Agama dengan Negara”. Dalam seri artikel yang dibuatnya antara tahun 1939-1940 itu Natsir membeberkan pandangan dan sikapnya tentang Islam dan negara, rasionalisme, akal merdeka, dan cinta tanah air. Dalam salah satu tulisannya ia menerangkan bahwa aliran Mu’tazillah lebih progresif daripada rasionalisme dan akal merdeka yang diserukan Soekarno.
Pada zaman Jepang, Natsir bekerja di kantor Gubernur di Bandung sebagai Kepala Biro Pendidikan Kota Bandung (Bandung Shiyakusho). Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Natsir terpilih menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) sampai tahun 1946. Setelah itu ia diangkat sebagai Menteri Penerangan selama tiga periode (1946-1949) pada masa Kabinet Sjahrir II dan III serta Kabinet Hatta.
Akhir tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bunda (KMB) di Den Haag, Negeri Belanda. Hatta menawari Natsir jabatan sebagai Perdana Menteri RIS. Tapi tawaran itu ditolaknya. Natsir yang menjabat Ketua Umum Partai Masyumi lebih memilih duduk di Parlemen RIS sebagai medan perjuangan. Ia menjabat sebagai Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen.
Ketika menjadi anggota dan pimpinan Fraksi Masyumi di Parlemen RIS inilah Natsir menghasilkan karya bersejarah yang menentukan perjalanan bangsa Indonesia selanjutnya. Melalui mosi yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” ia menyampaikan tuntutan agar Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Mosi ini didukung oleh seluruh anggota Parlemen, sehingga pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negara Republik Indonesia. Sangat mungkin karena jasanya inilah, Soekarno dan Hatta yang kembali menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, menunjuk Natsir menjadi Perdana Menteri pertama pasca-RIS. Natsir yang waktu itu masih berusia 42 tahun, menjabat kepala pemerintahan RI sejak bulan September 1950 sampai April tahun 1951.