Catatan Fakhruddin Halim
Sabtu, 10 Juni 2023
KETIKA awal semester satu jurusan ekonomi manajemen di STIE Kerjasama Yogyakarta, saya pernah berdoa tentang dua hal permohonan. Bisa menulis dan bisa bermain gitar. Allah Swt. mengabulkannya. Tapi baru satu.
Saya tidak bisa bermain gitar, tapi baru bisa sedikit menulis. Saya tidak bergabung ke Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Musik, meski hingga kini tetap menyukai musik.
Padahal di kampus, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Musik, difasilitas studio yang lengkap dengan peralatan musik.
Bahkan, salah seorang pendiri kampus, Raden Sigit Wiriadiningrat, yang masih darah biru keraton Yogyakarta Hadiningrat, tidak saja mewariskan kampus yang sangat mengah dengan sekitar 12.000 mahasiswa, tapi juga mewariskan seperangkat perlengkapan gamelan yang super lengkap.
Gamelan ini, menurut para senior adalah gamelan pusaka. Konon pada malam tertentu, lewat tengah malam, akan berbunyi dengan sendirinya. Entah siapa yang memainkannya. Yang jelas rumor ini berdedar dari mulut ke mulut.
Gamelan ini disimpan dan terbungkus rapi di lantai satu, gedung tujuh lantai perpustakaan. Ruangan penyimpanannya persis di sebelah kanan pintu masuk gedung atau dekat lift. Saya beberapa kali memasuki ruang itu.
Pernah suatu waktu, diam-diam lewat tengah malam saya menyelinap masuk. Lalu, memukul beberapa kali gong dan kulintang. Sejumlah aktivis yang mangkal di kampus geger.
Gamelan itu hanya pada momen tertentu dimainkan. Seperti pada waktu Dies Natalis. Sebelum dimainkan semacam ada ritual khusus. Kental aroma mistik.
Kang Ahmed pernah beberapa kali menceritakannya secara detail. Ahmed adalah senior di kampus. Aktivis yang aktif di Teater Gema, UKM Musik dan LDK Jamus. Dia ikut terlibat di Grub Band ST 12. Belakangan dia dan Charly mendirikan Setia Band.
Saya bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa yang menerbitkan majalah bulanan (yang sering telat terbit karena urusan ongkos cetak) Likuid.
Ketika masih bersekolah di sekolah dasar hingga SMK, pelajaran Bahasa Indinesia, khususnya mengarang bebas sangat saya sukai. Nilainya tidak jelek jelek amat. Kalau tidak angka delapan, ya angka sembilan.
Suatu ketika saya bertanya ke salah seorang guru yang mengajarkan Bahasa Indonesia, mengapa tidak memberi nilai sepuluh?
“Angka sepuluh untuk matematika. Kalau Bahasa Indonesia nilai tertinggi sembilan. Matematika ilmu pasti,” begitu katanya.
Puluhan tahun kemudian Amarzan Ismail Hamid Lubis atau Ammarzan Loebis, wartawan senior pernah memimpin Harian Rakyat, lalu di buang ke Pulau Buru, mengatakan, ” Tidak ada penulis nomor satu, yang ada penulis nomor dua,” kata Ammarzan yang setelah bebas bergabung dengan Tempo.