Oleh Fakhruddin Halim
PETANG ini, saya tertidur, 9 Ramadhan 1446 Hijriyah, tepat 9 Maret 2025. Dibangunkan azan ashar yang dikumandangkan menggunakan pengeras suara. Selepas menunaikan kewajiban bergegas menuju komputer yang sedari tadi menyala.
Belum duduk, telepon berdering dering, suara di seberang berat, gugup dalam nada kesedihan.
“Uwakmu, Dang Kram meninggal. Kau telepon Palembang, barusan Bak dikabari,” kata Bak dengan nada tergesa-gesa. Dang dalam bahasa Serawai, kaka laki-laki.
Di WAGrup keluarga sudah ramai. Saya runut pesan, kabar itu dishare Ayuk Nova anak Wak Kram yang dosen di UNSRI itu, pukul 14.54 WIB.
“Papa Maulana Ikram telah mendahului kita hari ini jam 2.54 (14.54 WIB),” bunyi pesan itu.
Persendian saya lemas. Air mata mengalir deras. Saya mencoba menelepon beberapa sepupu belum ada yang merespon, barang kali semua sedang fokus menghadapi musibah ini.
Saya mencoba menelepon anak Bungsu Wak Kram, yang tinggal di Australia, juga belum tersambung.
Ramadhan tahun lalu istrinya Nurainiyah, kakak Bak meninggal, kalau tak salah, pada 3 April 2024. Saya dan kedua putra kami datang takziah. Wak Kram tampak tabah. Tegar. Suaranya masih bernas. Tersenyum menyambut kami.
Jelang Idul Fitri ini, kami sudah bersiap mudik ke Bengkulu. Seperti biasanya kami sudah merencanakan menyempatkan singgah untuk transit dan bersilahturrahim ke rumah Kakak Ayah Alm Nurainiyah atau Wak Ani di Jl. Lunjuk Jaya, Lorok Pakjo, Palembang.
Wak Ani dan Wak Kram selalu menyambut kami dengan senyumnya selalu mengembang ramah.
Almarhum Wak Ani pensiunan perawat di salah satu RSUD di Palembang. Sedangkan wak Kram sebelum pensiun Kepala Bangdes, Pemerintah Kabupaten Musi Rawas.
Sekitar 10 tahun lalu alm berdua mengunjungi kami di Pangkalpinang. Selain untuk memeuhi undangan kawin keluarga, Wak Kram sebelumnya sudah berpesan agar saya mencari keberadaan Gurunya ketika SMA di Manna, Bengkulu Selatan. Guru olahraga sekaligus pelatih sepakbolanya.
“Beliau itu pelatih terkenal di Bangka. Kau carilah. Kau wartawan, tak sulit mencarinya,” tegasnya. Saya belum pernah mengenal atau mendengar nama yang disebut. Tapi saya berjanji akan mencarinya.
Akhirnya bertemu – namanya Tambunan – orang Batak. Selepas mengajar di Manna, pindah menjadi guru di Pangkalpinang. Dia pemain sepak bola. Selain menjadi guru, dia juga menjadi pelatih sepak bola di Pangkalpinang.
Rumahnya di gang sempit di Kelurahan Lontong Pancur, Pangkalpinang. Sebelum Pelabuhan Pangkalbalam.
Sudah sangat sepuh ketika malam itu kami mengunjunginya. Namun selera humornya masih baik. Wak Kram mengenalkan diri. Sang Pelatih masih ingat. Rupanya anak asuh kesayangannya. Wak Kram bintang di klubnya.
Tambunan, adalah salah satu Maha Gurunya Sepak Bola di Bangka.
Dalam melatih, Tambunan mengajarkan teori dasar Wiel Coerver. Dan hingga kini diajarkan oleh anak didiknya di Pangkalpinang.