Catatan Fakhruddin Halim
Pesan lewat WathsApp itu dikirimkan sepupu Nuril Hilal di grup WA keluarga pukul 18.29 Wib, Selasa/8/6/2021.
Pesan itu bagaikan petir, menghantam sisi terkuat manusia sehingga menjadi lemah. Kesedihan tak dapat ditahan.
Pesan berbahasa rejang itu “Wok Inok Dahlan Meningea = Uwak Ibu Dahlan Meninggal”.
Dalam kebudayaan Rejang, Uwak berarti panggilan kepada seseorang setara dengan orangtua kita, tapi dari sisi usia di atas usia orangtua kita. Ibu Dahlan karena anak tertuanya bernama Ahmad Dahlan.
Panggilan itu melekat pula kepada kakak ibu atau sepupu ibu maupun ayah. Bahkan setiap orang yang sudah berkeluarga dan memiliki anak maka jarang orang memanggil namanya.
Maka panggilannya bapak si anu atau ibu si anu, meskipun setara dari sisi usia dari yang memanggil bahkan bisa lebih muda. Itulah cara menghormati dan amat tabu memanggil namanya.
Sedangkan dalam komunikasi langsung dengan yang bersangkutan dalam beberapa keperluan tidak menggunakan kata “ko=kamu” kecuali untuk yang setara dan sebaya atau usia dibawah kita.
Contoh: “Kumu sudo mukmei?= Kamu sudah makan? Kumu disini adalah bahasa yang lebih halus.
Kalau untuk yang setara dan seusia maka:
“Ko sudo mukmei?= kamu sudah makan?”
Baca Juga Kasus Dugaan Surat Rapid Antigen Palsu, Polres Bangka Barat Tetapkan Dua Orang Tersangka
Begitu pula hirarki di atasnya seperti kakek atau nenek yang bukan kandung dinisbatkan panggilannya kepada cucu tertua dari anak tertua.
Nah Uwok Inok Dahlan adalah sepupu ibu dari kakek. Kakek saya Djamaluddin bin Wallar adalah adik kandung Ibu Wok Inok Dahlan, Sari binti Wallar. Sari punya kembaran Siti. Di keluarga kakek hanya dua orang perempua, keduanya kembar pula.
Yang tertua Ali Akbar, Umarsyah, Siti, Sari, Abdul Malik, Abdul Bahiqh dan Djamaluddin. Seorang lainnya meninggal ketika masih usia remaja Ali Bashar.
Klan Wallar menguasai lahan sebelah Barat desa, mulair dari seberang jalan hingga satu sisi Bukit Dinding sebelah timur. Sedangkan sisi barat dari desa masuk wilayah Kota Donok.
Kakek Moyang Wallar di batu nisannya menggunakan huruf arab meninggal pada tahun 1951. Cerita yang pernah bersama semasa hidup, beliau berperawakan besar tinggi, kulit putih, hidung mancung, rambut tebal dan kumis tebal.
Sayangnya satu-satunya fotonya yang ada tidak diketahui keberadaannya. Dulu di rumah kakek, tapi ketika Uwak Gulam bin Ali Akbar menjadi pesirah dibawaknya. Hingga kini tak diketahui keberadaanya.
Ada yang menyebutkan di museum tapi entah museum mana. Ada pula yang menyebutnya kembaran foto itu ada di museum di Belanda. Entahlah…yang pasti dokumentasi foto ini sangat berharga.
Baca Juga Begini Kata Akademisi Soal Kasus KDRT Dialami Susanti
Usia Wok berkisar 90 tahun lebih. Dan di keluarga ibu tinggal generasi ketiga dari keturunan Moyang Kami Wallar-Rinun.
Generasi kedua pun tidak semuanya saya bertemu. Nah generasi ketiga ini pun sebagian besar sudah wafat, kini tinggal hitungan jari.