Oleh Fakhruddin Halim
SORE itu, angkutan kota (angkot) yang saya tumpangi berhenti di Simpang Tiga Aur Kuning. Tepat dibibir Jalan Diponegoro, Kota Bukittinggi. Seorang wanita paruh baya berkerudung hitam bergegas turun.
“Da turun dimana?” tanya sopir angkot jenis kijang, warna biru muda. Kontan saja saya tersentak. Saya pun akhirnya memilih turun juga di sana. Selembar uang kertas dua puluh ribuan saya rogoh dari kocek. Dengan sigap sang sopir menghitung kembaliannya lantas menyerahkannya pada saya. Angkot yang saya tumpangi dari Hotel Pusako tadi segera berlalu dari hadapan.
Simpang Tiga Aur Kuning tampak ramai. Berbagai jenis mobil tampak berseliweran.Jalanan tampak semrawut. Banyak pula kendaraan roda empat yang parkir di sembarang tempat. Di sekitar budaran yang sempit itu terlihat puluhan mobil parkir, hingga memakan setengah badan jalan. Keruan saja jalanan menjadi sesak dan macet. Ditambah suara klakson yang sahut-sahutan. Berisik!
Mata saya tertuju pada gerobak berwarna biru muda, di depan penjual aneka kue tepat di pojok bundaran, menarik perhatian. Segera saya menghampiri gerobak itu. Yang menarik hati bukanlah warna gerobak itu, atau gerobak itu sendiri. Tapi yang membuat hati kepincut adalah tulisan berwarna orange yang menempel di dinding sebelah atas gerobak yang terbuat dari kaca. “Tahu Berontak Chaniago”.
Mendengar kata berontak, teringat akan sejarah Indonesia. Ranah Minang memang dikenal sebagai negeri para pengobar ‘pemberontakan’.
Dari rahim negeri “Adat Bersandikan Sarak, Sarak Bersandikan Kitabullah”, lahir tokoh-tokoh yang oleh penjajah Belanda dicap sebagai pemberontak. Mereka adalah, Tan Malaka, Hamka, Syahril, Moh Hatta, M Natsir dan puluhan lainnya. Bahkan Hatta sendiri adalah orang Bukittinggi.
“Uda,” kata saya, “Boleh numpang duduk?” tanya saya pada seorang pria yang tengah mencelupkan tahu kedalam adonan tepung, “Yo boleh,” jawabnya, tersenyum.
Saya memilih duduk di bangku panjang di belakan gerobak. Pria tadi membelakangi saya dan menghadap jalan raya.
Pria bertubuh kerempeng itu tampak perlente. Kumis tipis bertengger di atas bibirnya yang tipis itu. Menggunakan kaos berkerah dengan motif kotak-kotak dengan paduan warna hitam, kuning, dan hijau muda. Kaos itu dimasukkan kedalam celana berbahan kain warna biru tua. Lengkap dengan ikat pinggang warna hitam berbahan kulit.
Di telapak kakinya menempel, sepatu sandal warna hitam berbahan kulit. Ia tampak lebih mirip seorang pegawai kantoran. “Muhammad Jujur Chaniago,” katanya ketika kami berjabat tangan.
M Jujur, tak pernah rehat mencelupkan tahu kedalam adonan. Setelah itu tahu yang sudah dicelupkan ia masukkan kedalam penggorengan yang berisi minyak panas di kiri gerobak.
Sebuah tabung miyak tanah yang berisi delapan liter miyak diletakkan di samping bangku panjang berwarna coklat, tepat di sebelah kiri saya.
Sekitar satu meter selang seukuran selang infus, menghubungkan antara tabung dengan kompor yang berada dalam gerobak.
“Ceeem, ceeem, ceem..,”setiap kali Jujur memasukkan tahu yang sudah dilumuri adonan kedalam penggorengan. Aroma bawang putih dan campuran bumbu lainnya menusuk hidung, menggugah selera.
Adonan diracik sendiri oleh Jujur. Berbahan tepung terigu,telur ayam, bawang daun, bawang putih, garam, kunyit dan penyedap rasa secukupnya. Perpaduan bumbu inilah membuat Tahu Berontak berbeda dengan tahu lainnya yang bayak juga dijual di Bukittinggi.
Cukup dengan Rp700, kita sudah bisa menikmati kelezatan satu buah tahu berontak. Ukurannya memang tak terlalu besar, seukuran seperempat telapak tangan. Tapi rasanya yang membuat lidah orang, istilah Iwan Piliang akan bergoyang. Yang penting rasanya bung!
Sejak enam tahun lalu M Jujur, mangkal di Simpang Aur. Berjualan selepas asar sampai menjelang magrib. Hasilnya? Rp200 ribu sampai Rp300 ribu masuk kedalam saku celananya.
“Keuntungannya 50 persen lebih,” tuturnya.
Ini artinya, M Jujur seharinya mendapatkan keuntungan sekitar Rp100 ribu sampai Rp150 ribu. Setiap bulan ia bisa mengantongi Rp3 juta sampai Rp4,5 juta. Wow…! Angka yang fantastis.
Ia lahir di Batu Sangkar, 32 tahun yang lalu. Sekolahnya? “ SD pun saya tak tamat,” katanya tersipu. Ia menolak melanjutkan sekolah. Memilih merantau seperti kebanyakan orang Minang.
Kelas 5 SD ia kabur ke Dumai Riau, ikut pamannya berjualan siomay. Dua tahun mejadi penjual siomay ia banting stir, bekerja pada tukang pembuat etalase kaca. Hanya beberapa tahun saja bertahan. Ia pulang ke Padang membuka kedai nasi.
M Jujur tidak pernah merasa puas. Jiwanya selalu bergolak untuk mencari sesuatu yang baru.
Ia berangkat ke Jakarta. Selama delapan tahun di ibukota beragam profesi ia lakoni. Mulai dari tukang semir sepatu, tukang jahit dan pekerjaan lainnya.
Tak ada harapan berkembang di ibukota, M Jujur kembali ke Batusangkar. Membantu orang tuanya menggarap sawah.
Hanya beberapa tahun ia bertahan melakoninya. Orang Minang memang terkenal dengan jiwa merantaunya. Pantang berlama-lama di kampung.
M Jujur kembali mencari peruntungan. Pilihannya ke Dumai. Tujuh bulan di sana berjualan siomai tak banyak menolongnya. Ia kembali bekerja membuat etalase kaca. Hasilnya sama saja. Tapi ia tetap bersemangat mengarungi hidup.
“Bagaimana pun hidup harus terus berjalan dan kita harus berjuang,” katanya.
Ia coba lagi peruntungan di Jakarta. Kali ini dia membuka kedai nasi. Hasilnya lumayan, tapi tetap ia merasa belum mantab.
Baru pada tahun 1991 ia memilih untuk pulang ke Batusangkar. “Pekerjaan apa saja saya lakoni, yang penting halal.”